Kamis, 10 September 2009

LUWU DALAM WACANA MENCARI IDENTITAS

Perspektif Sejarah[1]

Oleh : La Ode Rabani [2]

Abstract

Tulisan ini akan menggambarkan identitas sosial dari proses perjalanan hidup dan dinamika aktivitas Sawerigading yang dikenal oleh masyarakat Luwu dan dunia melalui epik I Lagaligo. Tentu saja penggambaran ini akan dibatasi pada beberapa permasalahan utama, yakni bagaimana Sawerigading dapat dipahami sebagai seorang yang memiliki integritas pribadi yang tinggi sehingga diakui dan dipercaya suatu masyarakat di hampir setiap daerah yang dikunjungi (datangi).

Dalam beberapa tulisan diantaranya mengemukakan bahwa Sawerigading cukup dikenal luas di Sulawesi (Sulawesi Tenggara, Utara, Tengah dan tentu saja Sulawesi Selatan), Bima, Nusa Tenggara, Kalimantan, bahkan dunia. Hal ini membuktikan bahwa mobilitas sosial yang tinggi dan integritas yang tinggi pula telah menjadi dasar pijakan Sawerigading diakui sebagai titisan dewa yang identik dengan penolong, murah hati, memiliki berbudi pekerti baik, dan pelindung dari masyarakat sekitarnya. Gambaran seperti itu dapat ditemukan dalam Epik I Lagaligo dan terjemahan Lontarak yang tersebar di Sulawesi Selatan.

Penulis sengaja mengidentikan dan menyarankan agar apa yang ada dalam kandungan cerita dan nilai-nilai dari apa yang diajarkan oleh Sawerigading melalui I Lagaligo hendaknya dibaca dan dipahami seperti sebuah novel. Novel jauh lebih bermakna dan mengasyikan jika dibaca lembar demi lembar karena cerita akan dipahami secara utuh. Dengan memahami secara utuh isi ajaran Sawerigading baik yang tersirat maupun yang tersurat diharapkan dapat diterima dan dipertahankan oleh masyarakat Luwu dan tentu saja masyarakat secara umum.

Dalam konteks historis, yang menarik untuk dilihat adalah prosesnya ketika Sawerigading mencari jodoh dan menjadi orang hebat. Pada periode pencarian jodoh itu kita ketahui sebagai periode di mana perdagangan dan mobilitas sosial banyak dilakukan di laut dan orang-orang Cina adalah salah satu etnis yang ikut terlibat dalam proses itu. Dalam kaitan itu, konteks historis Sawerigading dapat dipahami sebagai sebuah proses yang kemudian melahirkan identitas yang diakui. Masyarakat awal kita bukankah kumpulan orang yang senang dengan kekerasan. Pendekatan kemanusiaan “dewa” menjadi salahsatu yang menghentikan perilaku itu. Mestinya Tuhan tidak akan menciptakan dan menurunkan kitab suci melalui nabi/rasulnya kalau masyarakat (manusia) sudah tentram dalam habitatnya.

I. Pengantar

Ketika panitia (Bapak Drs. Suriyadi Mappangara, M. Hum) meminta saya untuk menyumbang “tulisan bebas” asal mengenai Sulawesi Selalan, khususnya Luwu yang baru saja menjadi sebuah Kabupaten Baru, saya sempat menolak. Namun beliau meyakinkan saya bahwa ini adalah sarana belajar sebagai sebuah proses untuk menjadi bisa, sesuatu itu tidak ada yang sempurna, toh ini adalah media untuk mengevaluasi dan sarana untuk bertukar pikiran dan pandangan mengenai pengetahuan yang dimiliki “yang muda belajar ilmu dari yang tua” agar terjadi kontinuitas. Lebih dari itu, ia mengatakan bahwa “Mas Laode ini khan orang Sulawesi

Setelah saya membaca kandungan kegiatan ini, saya teringat bahwa pada tahun 1996, saya pernah ke daerah ini. Waktu itu saya melakukan perjalanan ke Malili. Itu artinya bahwa perjalanan saya ke Masamba adalah nostalgia, karna waktu itu saya bersama dengan seorang idaman hati menuju kampung halamannya, meskipun saya tidak datang sekali itu saja. Ini juga nostalgia.

Nostalgia identik dengan rasa haru, indah, sedih, dan tentu saja rasa bahagia. Itu berarti bahwa nostalgia adalah masa atau peristiwa yang telah terjadi dan kemudian ingin diulang kembali. Dalam kerangka itu, akar historis dari sebuah cerita nostalgia jauh lebih bermakna jika apa yang pernah terjadi mampu dihadirkan “diulang” kembali meskipun dalam waktu yang berbeda. Dalam konteks ini, festival I Lagaligo dan Seminar Sawerigading menjadi relevan sebagai sebuah sarana pencarian dan pematangan identitas Luwu sebagai sebuah wilayah yang mandiri dan memiliki akar historis yang panjang. Untuk mewujudkannya dalam sebuah kenangan manis dan agar tidak terlupakan “nostalgia” dalam arti positif-ilmiah menjadi pilihan yang tepat.

Makalah ini akan menjawab pertanyaan mengapa Luwu menjadi kerajaan yang memiliki akar sejarah dan peranan yang dominan dalam percaturan politik, ekonomi, dan sosial di Sulawesi Selatan pada masa awal berdirinya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan (abad XII-XIII). Bagaimana Sawerigading dapat dipahami sebagai sosok yang memiliki integritas pribadi sehingga diakui dan dipercaya oleh setiap masyarakat yang pernah disinggahi/dikunjungi. Sejauh mana dinamika peran dan ketokohan sawerigading dapat dipahami secara sosial dalam memperkuat identitas historis Luwu seperti tersirat dalam epik I Lagaligo sebagai sebuah wilayah yang otonom. Pembahasan makalah ini sedapat mungkin menggunakan pendekatan historis. Meskipun tidak semua peristiwa tidak tercover oleh tulisan ini. Namun diharapkan tulisan ini dapat membantu mengingatkan kembali proses perjalanan historis Luwu.

2. Setting Historis dan Sumber Ekonomi Luwu

Kerajaan Luwu adalah salah satu dari tiga kerajaan terbesar yang pernah mencapai kejayaannya di Sulawesi Selatan. Wilayah ini terletak di sekitar perbatasan dengan Sulawesi tengah dan Sulawesi tenggara. Wilayah Luwu juga dikenal sebagai tempat kelahiran Sawerigading yang diketahui sebagai pelaut terkenal pada masa kejayaanya. Orang mengatakan bahwa Sawerigading mencapai Cina dalam perjalanan mencari teman hidupnya yang bernama 'Wecudai'. Cerita Sawerigading menjadi sebuah cerita terkenal "Sure I Lagaligo". Naskah I Lagaligo ini merupakan naskah terpanjang di dunia.[3] Naskah dengan tulisan huruf lontarak inilah yang menempatkannya sebagai naskah bersejarah, yang dalam sejarah seringkali dikelompokan sebagai sumber tradisional.

I Lagaligo dalam banyak hal sering dijadikan sebagai sumber sejarah, masuk dalam kategori karya sastra, dan ada yang mempercayai sebagai kitab yang menjadi pedoman bertindak. Pemahaman seperti itu tentu saja wajar karena I Lagaligo merupakan satu-satunya informasi yang masih ada mengenai peristiwa pada zamannya. Melalui peninggalan itu kita mengenal peranan dan kehebatan Sawerigading, ayahnya Batara Guru, dan orang-orang di sekitarnya terutama para bangsawan dan pembantunya atau petinggi kerajaan. Berbagai perilaku adat/kebiasaan yang diterapkan juga diceritakan. Proses pengembaraan sang tokoh Sawerigading pun dijumpai di sana-sini. Tidak terkecuali metode pengobatan, adat perkawinan, tata krama, dan sebagainya. Karya sehebat I Lagaligo dikeluarkan dalam bentuk catatan mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan itu diantaranya adalah sistem pewarisan nilai agar tidak hilang.[4] Jadi dalam perspektif ini sejarah yang terjadi hanya milik penguasa dan petinggi kerajaan, sebuah ciri dari historiografi tradisional kita. Hal itu seringkali menjadi alat legitimasi sebuah institusi politik (kerajaan) yang berkuasa.

Menurut Mattulada, naskah I Lagaligo menceritakan Sawerigading sebagai titisan dewa sebagai penata pertama masyarakat Bugis. Dewa Patoto’E ini juga berfungsi untuk meluruskan dan menentukan nasib manusia.[5] Masyarakat pada periode ini hanya sebatas mengikuti kosmos sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah lagi.[6] Yang diharapkan dari periode ini adalah masyarakat yang tentram dan teratur.

Penulis percaya bahwa sesuatu terjadi pasti ada sebabnya. Hubungannya dengan munculnya Luwu sebagai peletak dasar negeri pertama di Sulawesi Selatan sudah banyak argumentasi yang dilontarkan. Namun tulisan ini mencoba memahami periode itu dalam perspektif waktu dan aktivitas masyarakat yang terjadi pada periode itu.[7]

Catatan sejarah menunjukan kepada kita bahwa hubungan antara kepulauan Nusantara dengan Cina, India, dan Arab sudah berkembang sejak awal, khususnya orang-orang yang melakukan perdagangan. Indonesia adalah penghasil rempah-rempah dan logam (Emas, biji besi, Nikel) yang dibutuhkan di pasar dunia yang saat itu, salahsatu pusatnya adalah di Asia Barat (laut Mediterania).[8] Banyak para pedagang dari Asia Barat, Cina, India yang datang mencari barang dagangan dengan menggunakan perahu layar ke Nusantara. Barang dagangan paling menonjol pada periode itu adalah sutra, logam mulia (emas), nikel, biji besi untuk pembuatan alat-alat pertanian dan senjata.

Anthony Reid mencatat bahwa Sulawesi (Luwu di Sulawesi Selatan dekat Sulawesi Tengah) adalah daerah penghasil utama nikel dengan campuran biji besi 50 %. Bahan itu digunakan untuk bahan baku pembuatan keris (senjata) berkualitas tinggi. Hasil penelitian menemukan bahwa keris yang ada di kerajaan Majapahit, bahan bakunya menggunakan nikel dan biji besi yang diambil dari Sulawesi.[9] Memang Jawa barat dan Bangka merupakan penghasil nikel dan timah, tetapi mutu dan kualitasnya untuk pembuatan senjata jenis keris dan pedang tidak sebaik nikel di Luwu. Posisi Luwu yang dekat pantai dan mudah dijangkau melalui laut (dari teluk Bone) memungkinkan banyak orang untuk datang ke wilayah itu karena dapat dengan mudah dijangkau melalui laut. Bukankan perdagangan dan lalulintas serta mobilitas pada masa Indonesia lama lebih mudah melalui laut dan sungai.

Komoditas logam pada periode Indonesia lama telah menjadi komoditi ekspor utama. Hal inilah yang memperkuat alasan bahwa Luwu berkembang menjadi pusat ekonomi dahulu sebelum menjadi pusat kekuasaan. Kekuasaan akan jauh lebih berkembang kalau ditopang oleh sumber ekonomi dan kekuasaan yang mapan. Cerita Sawerigading yang melakukan perantauan dan kemudian menemukan jodohnya di Cina menurut hemat penulis adalah kata kiasan dari proses perdagangan dan mobilitas sosial-ekonominya. Sejarah telah menunjukan kepada kita bahwa patner utama dan terpenting kita dalam berdagang hingga abad ke-14 adalah Cina. Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Syailendra dan sebagainya tercatat pernah menyetor upeti ke Cina.[10] Majapahit dan Sriwijaya memungut upeti dari kerajaan-kerajaan yang ditaklukan termasuk Kerajaan Luwu, Buton, dan Ternate.

Table 1.

Barang dagang dari hasil penggalian pada tahun 1998-99 di Pattimang Tua.[11]

T'zu-chou iron-painted wares, circa 14th century

3 (2 covered with a blue glaze)

Vietnam iron-painted, 14th-15th centuries

1

Old Ming blue-and-white, 15th century

4

Ming whiteware, 15th-16th centuries

1

Ming celadon, 15th-16th centuries

2

Ming blue-and-white, 15th-16th centuries

2

Coarse Brownware tempayan, 15th-16th centuries

3

Vietnam blue-and-white, 15th-16th centuries

1

Sawankhalok celadon, 15th-16th centuries

6

Ming celadon, 16th century

1

Ming blue-and-white, 16th century

2

Ming Swatow blue-and-white, 16th century

5

Ming Swatow "merah", 16th century

2

Swatow blue-and-white, 17th century

4

Bukti lain juga mengantar kita kepada pemahaman bahwa Luwu pernah pernah menjadi pusat ekonomi. Laporan hasil penggalian tim Arkeologi yang tergabung dalam proyek OXIS,[12] yang terdiri dari F. David Bulbeck (Dept. of Archaeology and Anthropology, Australian National University) dan Bagyo Prasetio (Bidang Prasejarah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) menyajikan data seperti tabel 1.

Sumber ekonomi itulah yang mengukuhkan Luwu sebagai salahsatu daerah tujuan utama pedagang baik itu secara barter maupun menggunakan uang sebagai alat tukar. Dalam perspektif politik, karena komoditi itulah yang menjadikan Luwu sebagai sebuah pusat kekuasaan. Hal itu menjadi jelas ketika pertanyaan kita ajukan mengapa Kepulauan Seribu atau lainnya tidak muncul seperti Luwu dan mengapa Belanda mau membangun jaringan kereta api di Jawa dan Sumatra. Hal itu berarti bahwa ada yang menarik orang untuk singgah dan atau berkuasa serta mau berbuat sesuatu di Luwu. Hal itu pula yang menjadi dasar mengapa masyarakat Bugis menganggap bahwa Luwu adalah negeri tertua dan pertama, bukan Selayar atau Bone, Jeneponto, dan Bulukumba. Luwu muncul menjadi sebuah kekuatan baru hasil dari sebuah proses yang menciptakan struktur dan kebiasaan dalam masyarakatnya, yang sebelumnya terjadi dalam proses skala kecil.

III. Basis Legitimasi Kekuasaan Sawerigading

Terdapat banyak cara seseorang melegitimasi, mempertahankan dan menyebarkan kekuasaannya. Cara itu antara lain ideologi, kultural, ekonomi, keturunan, dan sebagainya. Di Jawa, kekuasaan seseorang diawali dari strata sosial, kemudian mendapat pulung, lalu oleh masyarakat dianggap kelak akan menjadi pemimpin. Siapa yang melihat pulung itu? Jawabanya adalah kerabat kerajaan atau pembesar istana, meskipun seringkali terjadi intrik di dalam proses suksesi sebuah kekuasaan. Proses seperti itu hanya dapat terjadi pada pejabat selain jabatan raja, karena raja berkuasa berdasarkan keturunan dan jabatan lain tidak harus berdasarkan susunan keturunan.

Legenda Sawerigading dapat disingkat sebagai berikut:

“Sawerigading adalah putra mahkota kerajaan Luwu. Sang Pangeran yang gagah perkasa in baru pulang melanglang buana. Di kampung halaman sendiri, Ia jatuh hati pada saudara kembarnya sendiri, Watentri Abeng nan jelita. Sang Puteri menolak cintanya ini. Raja dan Permaisuri pun murka. Niat Sawerigading hanya akan mendatangkan petaka bagi bumi Luwu. Jadi, Sawerigading harus dihukum. Tapi, dasar saudara kembar, Watentri Abeng jadi ikut berduka. Untuk menghibur Saweri, Watenri menyuruh saudara kembarnya ini pergi ke negeri Tiongkok. Di sana, ada seorang puteri yang wajahnya mirip dengan Watenri. Puteri We Cudai namanya. Sawerigading menerima usulan adiknya itu. Celakanya, Sawerigading tidak dapat berlayar karena kapalnya sudah tua dan rapuh. Untuk membuat sebuah kapal yang baru dan tangguh, ditunjukkanlah kepadanya pohon welengrenge, sebatang pohon milik Dewata di Mangkutu. Pohon bertuah itu coba ditebang. Tetapi, sekuat daya diupayakan, pohon tak juga kunjung tumbang. Atas saran Wetenri Abeng, diadakanlah upacara besar-besaraan, dipimpin Iangsung oleh nenek Sawerigading, seorang sakti mandraguna. Namun, tatkala pohon bertuah itu rubuh, Pohon welengrenge langsung masuk keperut bumi membawa serta nenek Sawerigading. Anehnya, sesat kemudian muncul sebuah parahu, bak tersembulkan dan perut bumi ,megah nan indah. Maka berlayarlah Sawerigading menuju negeri Tiongkok. Namun sebelum dia bertolak, sempat dia mengucap sumpah (mungkin karena patah hatinya) bahwa dia tidak akan pulang ke tanah Luwu, kecuali bila tulangnya dibawa tikus. Sawerigadingpun berhasil mempersunting puteri We Cudai dari Tiongkok. Namun setelah sekian lamanya dia tinggal di negeri Tiongkok timbul juga rasa rindu ketanah kelahirannya, akhirnya membuat dia berlayar kembali ke tanah Luwu. Rupanya dia lupa akan sumpahnya, dan dia kembali berlayar pulang dengan perahu Walengrenge dulu. Dewata menjadi murka, menjelang perahu mendekat ke pantai Luwu, tiba tiba perahunya pecah. Pecahan perahunya terdampar di 3 tempat , yaitu seluruh papan lambung perahu terdampar di Ara, Tali temali dan layarnya terdampar di Bira, sedangkan lunas yang ada pada haluan sampai buritan terhempas di Lemo Lemo. Oleh masyarakat bagian bagian perahu itu dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan kelak perahu itu dinamakan perahu Pinisi atau penes . Dari cerita rakyat inilah konon muncul ungkapan "Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo Lemoa" Maksudnya Ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan ) dari Ara, dan ahli menghaluskan dari Lemo Lemo. Ungkapan ini tentu berkaitan dengan kemampuan membuat parahu yang akhirnya diwariskan turun temurun. Para pengguna parahu pinisi yakin, bila para ahli dari ketiga daerah ini terlibat dalarn pembuatan parahu, dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.[13]

Poin pertama yang dapat dilihat dari legenda itu adalah Sawerigading adalah orang yang terkungkung di dalam ikatan komunitas kekerabatan tradisional yang kuat. Biasanya dalam komunitas seperti ini, budaya agraris sangat dominan, aturan adat sangat ketat, dunia dewata yang diwujudkan dalam bentuk upacara sering dilakukan dalam setiap aktivitas masyarakat, apapun bentuknya. Kedua, pertolongan dewata (neneknya yang sakti) yang menyulap sebuah pohon menjadi perahu yang kemudian digunakan untuk meluaskan pergaulannya dengan merantau ke Tiongkok (simbol perdagangan dunia) dan patner utama para pedagang melayu dan Nusantara. Ketiga, perkawinannnya dengan putri Cina dan pecahnya perahu di tiga tempat berbeda ketika mendekati pantai luwu adalah basis legitimasi ekonomi dan kekuasaan Sawerigading.

Saya tidak tahu pasti bahwa ketika Sawerigading tiba di Luwu dan selamat dari perahunya yang pecah itu, sang raja (bapaknya udah meninggal atau belum). Jika sudah, maka dapat dipastikan bahwa penantian masyarakat Luwu akan kehadiran seorang raja yang legitimate dirindukan, karena sawerigading adalah putra mahkota Raja Luwu. Kiasan dalam pecahnya perahu bisa saja berarti ada perlawanan dari kekuasaan yang mencegah Sawerigading sebagai putra mahkota. Tiga daerah yang menjadi tempat terdamparnya perahu tokoh sentral (Sawerigading) adalah yang masih setia pada kekuasaan sang ayah. Ingat bahwa hanya perahu yang memiliki kualitas baik yang mampu menahan terpaan badai, karang, dan ombak di lautan. Itu digunakan oleh para tentara kerajaan dan pedagang Cina, sehingga perahu tidak saja bermakna teknologis, tetapi juga merupakan hasil dari produk sebuah akulturasi budaya yang melahirkan budaya baru dari hasil interaksi kelompok sosial melalui media perahu layar ini.

Sosok Sawerigading yang dikenal di hampir seluruh Pulau Sulawesi, meskipun dengan nama yang berbeda merupakan hasil dari proses pembauran dan interaksi antara pengikutnya melalui kapal dan barang dagangan. Media perahu layarlah yang memungkinkan ia dan pengikutnya melakukan mobilitas ke daerah lain.

Integritas yang dibangun untuk dikenal dan diakui sebagai tokoh yang berkuasa hanya bisa diakui oleh masyarakat ketika perangai baik menjadi tujuan di setiap aktivitasnya. Sikap penolong, penyelamat, pemurah, penyayang yang diperankannya telah mempercepat popularitasnya. Sikap ini hanya bisa dilakukan oleh para dewa/tuhan dalam ajaran agama. Sasaran dari perilaku ini adalah kedamaian dan ketentraman masyarakat. Aktivitas ekonomi dan politik jadi aman.

!V. Sawerigading Sebagai Identitas Sosial.

Identitas seringkali disamakan dengan ciri yang melekat pada sesuatu/seseorang. Bagaimana dengan Luwu yang menjadi saudara tua daerah-daerah lain di Sulawesi selatan. Kalau berdasarkan sistem kerajaan, mestinya Luwu secara historis menjadi Ibukota propinsi Sulawesi Selatan. Tetapi karena daerah lain juga berkembang dan kerajaan lain di Gowa, maka Makassar yang muncul sebagai ibukota. Faktor geografis dan faktor kolonialah yang menjadikan semuanya berubah. Selain dari faktor utamanya yaitu kemauan pemerintah dan faktor strategis. Luwu dengan sumber-sumber ekonominya yang melimpah tetap bertahan hingga sekarang. Nikel yang dikelola berabad-abad. Lalu, rotan, kopra, damar, dan lainnya. Semua itu masih mengukuhkan identitas Luwu sebagai daerah yang cukup mandiri.

Pada awal tulisan ini disebutkan bahwa nostalgia mengenai sejarah Luwu sangat penting untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat seperti yang ditujukan oleh pendiri negeri, Sawerigading. Meskipun identitas Sawerigading sudah dipahami dan menjadi simbol sebuah universitas dalam masyarakat Luwu, tetapi bukan berhenti di situ saja. Membuka lembaran cerita kesuksesan dan sepak terjang pendiri negeri Luwu adalah hal yang mengasikan. Ibarat kita membaca sebuah novel yang harus dibaca lembar demi lembar. Dengan begitu gairah hidup, semangat dan identitas diri semakin jelas serta mudah dipahami. Pemahaman itulah yang diharapkan menjadi spirit untuk membangun dan mengantar Luwu ke kejayaan masa lalu. Jika epik I Lagaligo bisa dipahami oleh setiap masyarakat Luwu dan kemudian diakui oleh masyarakat lain di luar Luwu, dari kandungan isi, nilai, tujuan, dan makna di dalamnya, mestinya itu menjadi bukti kebanggan masyarakat sebagai sebuah identas yang diakui.

V. Catatan Akhir

Sebagai catatan akhir, tulisan ini menjelaskan konteks historis Sawerigading. Periode historis Sawerigading dekat dengan sejarah Indonesia lama di mana Masyarakat melakukan aktivitas ekonomi secara bersamaan juga melakukan berbagai ritual sebagai pengaruh kepercayaan animisme. Periode perdagangan laut dan sungai banyak dilakukan dengan komoditi dagang utama adalah logam, hasil kerajinan logam (senjata, pisau, kampak, pedang, keris, tombak, dll). Rempah-rempah dan hasil laut seperti teripang juga banyak diperdagangkan pada periode itu, sehingga kontak dengan daerah yang menyediakan komoditi itu menjadi mutlak terjadi. Patner utama masyarakat melayu dan nusantara termasuk masyarakat Bugis-Makassar (Luwu) adalah orang-orang Cina. Orang-orang Cina, Arab, dan India begitu aktif dalam aktivitas perdagangan ini.

Data arkeologis menujukan bahwa Luwu merupakan pusat ekonomi. Tambang nikel yang dikelola secara resmi sejak tahun 1919 itu menjadi komoditi paling dibutuhkan di pasar Jawa dan internasional untuk bahan baku senjata seperti parang dan keris yang berkualitas tinggi. Hal inilah yang mendorong masyarakat di luar Luwu termasuk Cina datang ke daerah itu untuk melakukan perdagangan dan barter dengan komoditi Luwu. Kontak budaya dengan daerah di luar Luwu telah melahirkan struktur dan kebiasaan baru dalam strata sosial masyarakat Luwu. Pernikahan Sawerigading dengan putri Cina “We Cundai” adalah bukti paling jelas mengenai hal ini.

DAFTAR REFERENSI

Andaya, Leonard Y., The Heritage of Arung Palakka; A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: KITLV, VKI Nomor 91, 1981.

Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XII dan XIII, Bandung: Mizan, 1994

Belshaw, Cyril S., Tukar-Menukar Tradisional dan Pasar Modern, Jakarta: Gramedia, 1981

Braudel, F., The Mediterranean World in the Age of Philip II, Volume I & II, New York, Hogerstown, San Francisco, London: Harper & Row Publisher, 1966

Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, Jakarta: Depdikbud-Jarahnitra, 1985

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI-Press, 1986

Graaf, H.J. de dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, kajian Sejarah Politik abad ke-15 dan abad ke-16, Jakarta, Grafiti Press, 1974

Graaf, H.J., de., Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Grafitipers, 1986

------------------, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: Grafitipers, 1987

Harvey, Barbara S., Kahar Muzakar, dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta: Grafiti Press, 1987.

Herridge, G. A, The Prahu, Traditional Sailing Boat of Indonesia, Singapore: Oxford University Press, 1985

Knaap, G.J, Trading Compagnies in Asia 1600 – 1830, Utrecht, 1986

Lindblad, Thomas (ed.,), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Kerjasama PSSAT UGM - Pustaka Pelajar, 2002

Mattulada, Latoa, Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985

Pudentia, Bahan Pelatihan Penelitian Sejarah di Jakarta tanggal 24 September 2003.

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press, 1992

Reid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I, Tanah di Bawah Angin ,Jakarta: YOI, 1992

------------------, “Mata Rantai Perak, Mata Rantai Baja: Politik Pemaksaan Geografi, 1865-1965” dalam Thomas Lindblad (ed.,), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar-PSSAT UGM, 2002

Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia Jilid I dan II (Jakarta: Depdikbud, 1975

Susanto Zuhdi, Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII – XVIII, Jakarta: Disertasi tidak diterbitkan, 1997.



[1]Makalah disampaikan pada Festival I Lagaligo dan Seminar Internasional Sawerigading, Masamba, Luwu-Utara Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003.

[2]Staf Jurusan Sejarah dan Asisten Peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM.

[3]Naskah asli dari epik I Lagaligo terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dan Perpustakaan Konggres Amerika (informasi ini diperoleh penulis ketika Dr. Roger Tol menunjukannya pada Pelatihan Penelitian Sejarah Kerjasama LIPI Jakarta dengan NIOD Belanda, 15 Sept sampai 18 Oktober 2003 di Jakarta ).

[4]Sebagai bahan perbandingan, babad tanah Djawi juga dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan I Lagaligo yang banyak menceritakan orang besar yang berdagang, sakti, mengembara, dan sebagainya.

[5]Mattulada, Latoa, Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 389.

[6]Periode I Lagaligo sejaman dengan abad VII-X. Periode ini di bagian lain Indonesia berkembang kerajaan Hindu, Sriwijaya, dan Syailendra. Mattulada, op. cit., hlm. 402

[7]Peristiwa yang terjadi pada periode itu tidak dipandang apa adanya, tetapi ada kondisi/situasi atau faktor-faktor yang memungkinkan peristiwa itu terjadi.

[8]F. Braudel, The Mediterranean World in the Age of Philip II, Volume I & II, New York, Hogerstown, San Francisco, London: Harper & Row Publisher, 1966

[9]Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I, Tanah di Bawah Angin (Jakarta: YOI, 1992) hlm. 122-126.

[10]Anthony Reid, “Mata Rantai Perak, Mata Rantai Baja: Politik Pemaksaan Geografi, 1865-1965” dalam Thomas Lindblad (ed.,), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-PSSAT UGM, 2002), hlm. 333

[11]Sumber ini penulis temukan di Internet. Saya tidak membaca seluruh laporan hasil penelitian ini, kecuali yang ditampilkan di internet (copy ada pada penulis).

[12]Proyek ini merupakan studi lapangan yang dilakukan di Luwu Sulawesi Selatan pada tahun 1998-1999.

[13]Ringkasan ini diperoleh dari Internet. Copy ada pada penulis.